Halaman

Minggu, 25 September 2011

UUPA 1960 Sebagai Turunan Pasal 33 UUD 1945

17 Agustus 1960, Bung Karno telah mengumumkan sebuah rencana sangat penting: pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Katanya, seraya menegaskan, UUPA ini akan merombak hak atas tanah dan penggunaan tanah, agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara, dan khususnya taraf hidup kaum tani meninggi, dan taraf hidup seluruh rakyat jelata dapat meningkat.

Lalu, sebulan kemudian, tepatnya 24 September 1960, Bung Karno telah mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Salah satu prinsip dari UUPA ini adalah bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.

Juga, dalam UUPA 1960 ini, telah ditegaskan soal pelaksanaan ‘land reform’. Pada satu sisi, menurut Bung Karno, land-reform berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial di atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur. Pada pihak lain, land-reform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum tani.

Menurut Iwan Nurdin, aktivis dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), UUPA 1960 adalah pengejawantahan secara konkret dari pasal 33 UUD 1945. “UUPA 1960 punya semangat yang sama dengan pasal 33 UUD 1945, yaitu merombak susunan ekonomi koloanisme,” katanya saat diskusi bertajuk “Kembalikan Kedaulatan Bangsa Dengan Gerakan Pasal 33″, di Kantor KPP PRD, Jumat (15/7).

Selain itu, dalam UUPA 1960, agraria tidak diartikan dengan tanah, tetapi agraria diartikan sebagai tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jadi, semangatnya benar-benar pasal 33 UUD 1945 ayat (3).
Sayang sekali, UUPA tidak pernah dijalankan secara konsisten. Terutama di jaman orde baru, UUPA malah dianggap sebagai produk ‘komunis’. Lalu, secara sepihak, rejim orde baru membuat produk hukum sendiri, seperti UU kehutanan, UU pertambangan, dan lain-lain, yang tidak mau lagi merujuk pada UUPA 1960.
Di masa reformasi, UUPA 1960 masih terus diselewengkan. “Karena tata perundang-undangan di masa reformasi tidak mengenal Undang-Undang Pokok. Semua Undang-Undang dianggap sejajar,” kata Iwan Nurdin.



Dalam praktek impelementasinya, UUPA 1960 tidak dapat dipisahkan dari UU nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil (PBH) dan program land-reform. “Ini satu paket. Tidak bisa dipisahkan,” kata Iwan Nurdin.
Alasannya, karena UUPA 1960 punya mimpi untuk mentransformasikan rumah tangga tani di desa-desa, yang kekurangan teknologi, kekurangan modal, dan kekurangan tanah, menjadi struktur ekonomi pedesaan yang modern.

“Makanya, UU nomor 2 tahun 1960 tentang bagi hasil itu sangat mirip dengan bagi hasil dalam dunia industri. Juga tentang land-reformnya dan soal pengadilan sengketa, itu sama dengan pengadilan hubungan industrial,” tegasnya.
Hal di atas, menurut Iwan, menunjukkan bahwa cara pandang UUPA 1960 adalah menatap masa depan, yaitu modernisasi pertanian. UUPA 1960 tidak mau mempertahankan rumah tangga pedesaan yang subsisten, yang kekurangan tanah, modal, teknologi, dan tenaga kerja.

Sayang sekali, kata Iwan, landreform tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kalaupun berjalan, itu hanya di daerah pedesaan. Itupun hanya mengidentifikasi pada soal kelebihan batas maksimum kepemilikan tanah, tanah absente, dan tanah negara, bukan kepada objek-objek landreform yang semestinya: perkebunan-perkebunan bekas milik kolonial.

“Tanpa landreform, negara sesungguhnya akan mengalami kepincangan dalam menjalankan industrialisasi yang kuat,” ujar Iwan.
Ada banyak aktivis yang mempersoalkan masih dianutnya hak guna usaha (erfpacht) dalam UUPA 1960. Menurut sebagian aktivis itu, keberadaan hak guna usaha telah menjadi legitimasi terhadap perampasan tanah milik rakyat.

Akan tetapi, Iwan punya pandangan lain soal hak guna usaha dalam UUPA 1960. Menurutnya, hak guna usaha dalam UUPA 1960 hanya dimiliki oleh serikat-serikat petani melalui badan usaha yang disebut koperasi. “Kalau ada istilah badan usaha milik petani, maka seharusnya itu adalah petani yang mendapat hak guna usaha. Bukan perusahaan-perusahaan perseorangan penerima HGU,” tegasnya.

Sekarang ini, struktur pertanian di Indonesia sangat mirip dengan jaman kolonial, dimana perusahaan asing mengusai tanah, bibit, hingga produk ekspor. Dalam produk CPO, misalnya, perusahaan asing mengusai tanah, produk derivative, hingga produk ekspornya. Akibatnya, sekalipun kita dikenal sebagai eksportir terbesar CPO di dunia, tetapi pemerintah sendiri tidak sanggup mengontrol atau menyediakan harga minyak goreng murah untuk rakyat.

Dari 9,1 juta hektar kebun sawit di Indonesia, itu hanya dimiliki oleh 264 perusahaan saja atau sekitar puluhan group saja. Begitu juga dengan pengusaan hutan produksi: dari 41 juta hektar hutan produksi di negara kita, itu hanya dikusaia oleh 366 perusahaan. Tetapi ada 22 juta rumah tangga petani di Indonesia hanya memiliki 0,3 hektar per rata-rata.

Di masa reformasi, dimana liberalisasi benar-benar gencar dilakukan, tinggal soal tanah (agraria) yang belum sepenuhnya berhasil diliberalisasikan. Maka, tidak mengherankan jika Bank Dunia sangat bernafsu untuk menghapus UUPA 1960.
Dengan demikian, UUPA 1960 sekarang merupakan benteng terakhir dalam mempertahankan kedaulatan kita. Oleh karena itu, maka perjuangan pasal 33 UUD 1945 haruslah memperkuat dan mendorong pelaksanaan UUPA 1960.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar