Halaman

Senin, 10 Oktober 2011

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI BIDANG PERTANAHAN

1. Pendefinisian Tugas-Tugas Pemberdayaan
Tugas pemberdayaan masyarakat yang diemban oleh BPN RI tidak dapat terlepas dari kerangka besar program reforma agraria, terlebih sejak PP No. 11 Tahun 2010 bergulir yang kemudian disusul Perkaban No.4 tahun 2010 dan yang terbaru Perkaban No. 5 tahun 2011 yang mengatur tentang tata cara penertiban tanah dan pendayagunaan tanah terlantar.
Pendayagunaan yang dalam bahasa kebijakan lebih sering disebut dengan pemberdayaan dalam konteks reforma agraria adalah pemberdayaan ekonomi bagi kelompok masyarakat yang memperoleh tanah dari negara. Sedangkan pengertian pemberdayaan atau empowering adalah suatu bentuk intervensi sosial dari luar yang ditujukan untuk memperkuat struktur sosial masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan mereka, yang melibatkan 2 (dua) aktor yaitu kelompok masyarakat dan kelompok intervensionis dari luar.

2. Peningkatan Kinerja Aparat Pemberdayaan BPN
Untuk mengoptimalkan aparatur pemberdayaan BPN dalam melaksanakan tugasnya maka ada 2 (dua) hal yang harus dilaksanakan terkait untuk meningkatkan kinerja aparat pemberdayaan yaitu :
a. Peningkatan kapasitas aparat pemberdayaan di setiap jenjang struktural BPN
Penjelasan : mutlak perlu dilakukan selain untuk meningkatkan ketrampilan dalam praktik pemberdayaan juga dalam rangka peningkatan kesadaran tentang pentingnya program reforma agraria.
Tujuan : peningkatan kesadaran dan ketrampilan aparatur pemberdayaan BPN.
Kegiatan : pelatihan (di kelas dan di lokasi); pertukaran pengalaman praktik pemberdayaan dan pembangunan pilot project implementasi pemberdayaan di beberapa lokasi.
b. Pendefinisian alur kerja yang lebih jelas bagi aparat pemberdayaan di setiap jenjang
Penjelasan : Hal ini berguna sebagai bentuk panduan bagi aparatur pemberdayaan di setiap jenjang mengenai tugas-tugas pokok yang harus dilakukan terkait dengan agenda pemberdayaan yang akan dilakukan
Tujuan : membangun mekanisme kerja yang efektif bagi aparatur pemberdayaan
Kegiatan : pelatihan di kelas dan simulasi tentang cara kerja yang efektif pada tahapan kerja pemberdayaan; membangun mekanisme monitoring dan evaluasi setiap inisiatif pemberdayaan oleh aparat pemberdayaan.

3. Penyusunan Perangkat Rencana Aturan Pemberdayaan
Beberapa rancangan aturan teknis yang perlu disiapkan untuk mendukung implementasi PP Reforma Agaria yang akan terbit adalah mengenai :
a. Inventarisasi pengalaman pemberdayaan di beberapa wilayah
Kegiatan ini perlu dilaksanakan untuk membangun basis pengetahuan tentang pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan guna penyusunan kebijakan mengenai pemberdayaan masyarakat, adapun salah satu jenis kegiatanya adalah dengan melakukan social mapping dilokasi yang menjadi sasaran kegiatan.
b. Petunjuk pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan dalam pemberdayaan
Adanya juklak ini diharapkan berguna bagi aparat pemberdayaan dalam menentukan kegiatan-kegiatan apa yang bisa diinisiasi terkait pemberdayaan dalam waktu tertentu, dimana hal ini dapat diwujudkan dengan tersusunnya modul kerja aparat pemberdayaan
c. Petunjuk pelaksanaan mekanisme kerja tahapan-tahapan kegiatan dalam pemberdayaan
Adanya juklak ini diharapkan memberi kejelasan setiap tahapan kegiatan pemberdayaan dengan mempertimbangkan berbagai pengalaman yang telah dilakukan oleh aparat BPN sebagai modal untuk mendapatkan gambaran mengenai apa yang harus dilakukan di dalam setiap tahapan kegiatan pemberdayaan, dimana hal ini dapat diwujudkan dengan tersusunnya modul kerja aparat pemberdayaan yang lebih lengkap.
d. Petunjuk pelaksanaan mekanisme kerjasama institusional dalam program pemberdayaan
Program pemberdayaan adalah program multisektoral oleh karenanya diperlukan suatu panduan atau tata cara yang meliputi institusionalisasi dari relasi dengan instansi-instansi yang lain, baik dari instansi pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat.
e. Petunjuk pelaksanaan monitoring dan evaluasi dari inisiatif pemberdayaan yang dilakukan oleh jajaran aparat pemberdayaan
Setiap kegiatan yang telah bergulir harus memiliki agenda yang jelas dan terukur, sehingga perlu disiapkan suatu mekanisme monitoring dan evaluasi agar setiap pencapaian dapat dilihat kembali kelebihan dan kekurangannya sehingga dapat meminalisir kegagalan dalam pelaksanaan pemberdayaan di masyarakat.

4. Social Mapping
yaitu : proses penggambaran masyarakat secara sistematik yang melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat termasuk di dalamnya profile dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut
Tujuan : Social mapping selain dilakukan untuk menemukenali potensi sumber daya dan modal sosial masyarakat, juga dapat dilakukan untuk mengenal stakeholder / pemangku kepentingan, tidak hanya yang berpotensi untuk diajak bekerjasama tetapi juga yang berpotensi untuk menghambat pelaksanaan program ke depan.
Melalui social mapping ini pula dapat teridentifikasi kebutuhan dan akar permasalahan yang dirasakan komunitas dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Selanjutnya, hasil dari social mapping inilah yang digunakan sebagai bahan perencanaan program pemberdayaan masyarakat yang lebih komprehensif.

5. Pendampingan
Keberhasilan kegiatan pemberdayaan tidak mungkin dapat dilihat dalam waktu yang singkat, hal ini dikarenakan pemberdayaan dikategorikan sebagai multi years project sehingga untuk menjaga kesinambungannya diperlukan suatu kegiatan pendampingan yang bertugas untuk mengawal kegiatan yang telah direncanakan tetap berjalan sebagaimana mestinya sampai dicapai apa yang menjadi tujuannya. Kondisi ini akan dapat optimal jika model pembangunan yang diterapkan menjadikan manusia sebagai pusat utama pembangunan (people centered development) yang menempatkan manusia sebagai inisiator dan tujuan pembangunan itu sendiri.
Dengan pola tersebut maka kegiatan pemberdayaan adalah proses dari anggota-anggota suatu masyarakat yang meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka. Adapun pemerintah lebih banyak berperan memberikan pendampingan guna kelancaran pelaksanaan kegiatan.
»»  SELENGKAPNYA...

Minggu, 25 September 2011

UUPA 1960 Sebagai Turunan Pasal 33 UUD 1945

17 Agustus 1960, Bung Karno telah mengumumkan sebuah rencana sangat penting: pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Katanya, seraya menegaskan, UUPA ini akan merombak hak atas tanah dan penggunaan tanah, agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara, dan khususnya taraf hidup kaum tani meninggi, dan taraf hidup seluruh rakyat jelata dapat meningkat.

Lalu, sebulan kemudian, tepatnya 24 September 1960, Bung Karno telah mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Salah satu prinsip dari UUPA ini adalah bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.

Juga, dalam UUPA 1960 ini, telah ditegaskan soal pelaksanaan ‘land reform’. Pada satu sisi, menurut Bung Karno, land-reform berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial di atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur. Pada pihak lain, land-reform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum tani.

Menurut Iwan Nurdin, aktivis dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), UUPA 1960 adalah pengejawantahan secara konkret dari pasal 33 UUD 1945. “UUPA 1960 punya semangat yang sama dengan pasal 33 UUD 1945, yaitu merombak susunan ekonomi koloanisme,” katanya saat diskusi bertajuk “Kembalikan Kedaulatan Bangsa Dengan Gerakan Pasal 33″, di Kantor KPP PRD, Jumat (15/7).

Selain itu, dalam UUPA 1960, agraria tidak diartikan dengan tanah, tetapi agraria diartikan sebagai tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jadi, semangatnya benar-benar pasal 33 UUD 1945 ayat (3).
Sayang sekali, UUPA tidak pernah dijalankan secara konsisten. Terutama di jaman orde baru, UUPA malah dianggap sebagai produk ‘komunis’. Lalu, secara sepihak, rejim orde baru membuat produk hukum sendiri, seperti UU kehutanan, UU pertambangan, dan lain-lain, yang tidak mau lagi merujuk pada UUPA 1960.
Di masa reformasi, UUPA 1960 masih terus diselewengkan. “Karena tata perundang-undangan di masa reformasi tidak mengenal Undang-Undang Pokok. Semua Undang-Undang dianggap sejajar,” kata Iwan Nurdin.



Dalam praktek impelementasinya, UUPA 1960 tidak dapat dipisahkan dari UU nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil (PBH) dan program land-reform. “Ini satu paket. Tidak bisa dipisahkan,” kata Iwan Nurdin.
Alasannya, karena UUPA 1960 punya mimpi untuk mentransformasikan rumah tangga tani di desa-desa, yang kekurangan teknologi, kekurangan modal, dan kekurangan tanah, menjadi struktur ekonomi pedesaan yang modern.

“Makanya, UU nomor 2 tahun 1960 tentang bagi hasil itu sangat mirip dengan bagi hasil dalam dunia industri. Juga tentang land-reformnya dan soal pengadilan sengketa, itu sama dengan pengadilan hubungan industrial,” tegasnya.
Hal di atas, menurut Iwan, menunjukkan bahwa cara pandang UUPA 1960 adalah menatap masa depan, yaitu modernisasi pertanian. UUPA 1960 tidak mau mempertahankan rumah tangga pedesaan yang subsisten, yang kekurangan tanah, modal, teknologi, dan tenaga kerja.

Sayang sekali, kata Iwan, landreform tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kalaupun berjalan, itu hanya di daerah pedesaan. Itupun hanya mengidentifikasi pada soal kelebihan batas maksimum kepemilikan tanah, tanah absente, dan tanah negara, bukan kepada objek-objek landreform yang semestinya: perkebunan-perkebunan bekas milik kolonial.

“Tanpa landreform, negara sesungguhnya akan mengalami kepincangan dalam menjalankan industrialisasi yang kuat,” ujar Iwan.
Ada banyak aktivis yang mempersoalkan masih dianutnya hak guna usaha (erfpacht) dalam UUPA 1960. Menurut sebagian aktivis itu, keberadaan hak guna usaha telah menjadi legitimasi terhadap perampasan tanah milik rakyat.

Akan tetapi, Iwan punya pandangan lain soal hak guna usaha dalam UUPA 1960. Menurutnya, hak guna usaha dalam UUPA 1960 hanya dimiliki oleh serikat-serikat petani melalui badan usaha yang disebut koperasi. “Kalau ada istilah badan usaha milik petani, maka seharusnya itu adalah petani yang mendapat hak guna usaha. Bukan perusahaan-perusahaan perseorangan penerima HGU,” tegasnya.

Sekarang ini, struktur pertanian di Indonesia sangat mirip dengan jaman kolonial, dimana perusahaan asing mengusai tanah, bibit, hingga produk ekspor. Dalam produk CPO, misalnya, perusahaan asing mengusai tanah, produk derivative, hingga produk ekspornya. Akibatnya, sekalipun kita dikenal sebagai eksportir terbesar CPO di dunia, tetapi pemerintah sendiri tidak sanggup mengontrol atau menyediakan harga minyak goreng murah untuk rakyat.

Dari 9,1 juta hektar kebun sawit di Indonesia, itu hanya dimiliki oleh 264 perusahaan saja atau sekitar puluhan group saja. Begitu juga dengan pengusaan hutan produksi: dari 41 juta hektar hutan produksi di negara kita, itu hanya dikusaia oleh 366 perusahaan. Tetapi ada 22 juta rumah tangga petani di Indonesia hanya memiliki 0,3 hektar per rata-rata.

Di masa reformasi, dimana liberalisasi benar-benar gencar dilakukan, tinggal soal tanah (agraria) yang belum sepenuhnya berhasil diliberalisasikan. Maka, tidak mengherankan jika Bank Dunia sangat bernafsu untuk menghapus UUPA 1960.
Dengan demikian, UUPA 1960 sekarang merupakan benteng terakhir dalam mempertahankan kedaulatan kita. Oleh karena itu, maka perjuangan pasal 33 UUD 1945 haruslah memperkuat dan mendorong pelaksanaan UUPA 1960.


»»  SELENGKAPNYA...

Selasa, 20 September 2011

POMASDARTIBNAH SARANA MEMBANGUN KEPERCAYAAN KEPADA BPN MELALUI PARTISIPASI MASYARAKAT


Pengelolaan pertanahan oleh BPN-RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) tidaklah akan mencapai sukses, bila tidak didukung oleh masyarakat. Kinerja terbaik BPN-RI hanya akan menjadi idealisme semata, bila tidak ada partisipasi aktif dari masyarakat. Partisipasi (participation), adalah menjadi peserta dari suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu situasi sosial tertentu. Dalam konteks pertanahan, hal ini berarti kesediaan masyarakat untuk menjadi peserta dari suatu proses komunikasi atau kegiatan pertanahan
.
Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi berkaitan dengan partisipasi masyarakat di bidang pertanahan, yaitu:
Pertama, partisipasi kehadiran (audience participation). Partisipasi ini terjadi ketika masyarakat bersedia menghadiri sosialisasi kegiatan pertanahan, misal: sosialisasi PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional);
Kedua, partisipasi budaya (cultural participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masyarakat untuk mengikuti kegiatan pertanahan tertentu;
Ketiga
, partisipasi bertujuan (objective participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masyarakat untuk mengikuti kegiatan pertanahan secara lebih jauh lagi, karena telah mengetahui tujuan kegiatan tersebut;
Keempat, partisipasi kebijakan (policy participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masyarakat untuk terlibat dan memberi kontribusi dalam perumusan kebijakan pertanahan. Contoh: masyarakat memberi kontribusi pemikiran (masukan) tentang tradisi lokal yang dapat mendukung PPAN;
Kelima, partisipasi psikologis (psychological participation) Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masdyarakat untuk melakukan proses formasi sikap untuk mendukung kegiatan pertanahan.

Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan. Gerakan ini bertujuan untuk memberi ruang partisipasi kepada masyarakat dalam pengelolaan pertanahan, seperti dalam hal:
Pertama, pemasangan tanda batas, yang dilakukan bersama-sama secara terkoordinir oleh pemilik tanah dan tetangga batasnya; \
Kedua, mendorong pembentukan Pokmasdartibnah (Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan) oleh masyarakat, yang akan berpartisipasi dalam pengelolaan pertanahan.

Kerjasama yang terjalin antara Pokmasdartibnah dengan Kantah (Kantor Pertanahan) akan membuktikan kebenaran dan perwujudan Agenda Pertama dari Sebelas Agenda BPN-RI, yaitu "Membangun kepercayaan masyarakat. Keakraban ditandai oleh adanya peran Pokmasdartibnah dalam pengelolaan pertanahan, yang berbasis pada status Pokmasdartibnah yang swadaya, swakelola, dan swadana.

Peran Pokmasdartibnah juga diawali oleh adanya stimulus dari BPN-RI dan Kantah, yang memberi ruang partisipasi kepada masyarakat. Stimulus inilah yang direspon oleh Pokmasdartibnah, dengan memberi kinerja yang dapat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan pertanahan oleh BPN-RI.

Peran (role) memberi makna adanya aspek dinamis dari status Pokmasdartibnah, yang memberinya perangkat hak dan kewajiban. Peran juga merupakan perilaku aktual dari Pokmasdartibnah, dan merupakan bagian dari aktivitas yang sedang dimainkan Pokmasdartibnah.
»»  SELENGKAPNYA...

Pemberdayaan Masyarakat & Sertipikasi HAT Lintas Sektor

Istilah Pemberdayaan Masyarakat Lintas Sektor ini mengemuka karena kegiatan legalisasi asset ini awalnya inisiatif dan dananya dari sektor terkait, seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah , Departemen Pertanian, serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun karena portofolio sertipikasi hak atas tanah adalah domainnya Badan Pertanahan Nasional R.I, maka kegiatan sertipikasi hak atas tanah tersebut harus diletakkan di DIPA BPN R.I.

Juga dimaknai dengan istilah lintas sektor karena kegiatan ini tidak diselenggarakan oleh satu instansi saja dalam hal ini BPN R.I. tetapi merupakan kegiatan bersama dengan sektor/kementerian/lembaga lain.

Dalam perjalanan pelaksanaan kegiatan ini, beberapa hal yang yang sering mengemuka dan berulang-ulang muncul antara lain adalah pertanyaan sbb :

1.   Apa bedanya program ini dengan program Prona, Adjudikasi, dlsbnya yang sudah ada selama ini ?

a.   Subyek
Subyek kegiatan ini kualifikasi, inventarisasi dan identifikasinya ditentukan oleh sektor terkait, misalnya kualifikasi nelayan skala kecil oleh Departemen/Dinas Kelautan dan Perikanan, usaha mikro kecil oleh Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, petani oleh Departemen/Dinas Pertanian. Dari hasil seleksi tersebut yang dikoordinasikan oleh Pokja terkait, Kantor Pertanahan melakukan verifikasi dan menetapkan pesertanya. Oleh sebab itu tidak mudah memindah-mindahkan target kegiatannya karena ketersediaan subyek dan obyeknya banyak ditentukan oleh sektor terkait. Kalaupun terjadi pergeseran target harus melalui koordinasi antara Kantor Pertanahan/Kanwil BPN dengan dinas terkait setempat.
Hal ini berbeda dengan yang dilakukan dalam kegiatan Prona maupun adjudikasi, yang subyeknya ditentukan kualifikasi dan seleksinya oleh pihak BPN R.I.


b.   Tahapan pra, sertipikasi, dan pasca
Dalam kegiatan lintas sektor ini dikenal tiga tahapan kegiatan, yaitu pra, sertipikasi dan pasca. Pra dan Pasca dilaksanakan oleh sektor terkait bersama dengan pihak Kantor Pertanahan, sedangkan tahapan sertipikasinya oleh Badan Pertanahan Nasional. Kegiatan Pra menjadi penting apalagi bila dilaksanakan pada tahun sebelumnya (T-1) sehingga terinventarisasi dan terseleksi calon-calon peserta yang memenuhi syarat untuk disertipikatkan pada tahun berikutnya. Sedangkan tahapan pasca sertipikasi merupakan fasilitasi akses dari peserta ke sumber-sumber produksi dan permodalan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat penerima. Inilah justru menjadi ikon pembeda dari program lainnya yang menegaskan keberpihakan pada penanggulangan kemiskinan. Sertipikat menjadi instrumen pemberdaya masyarakat.

c.   Tim Koordinasi
Karena sifatnya lintas sektor maka peran kelompok kerja dalam mengkoordinasikan kegiatan sangat vital, yang diharapkan dapat dibentuk sedini mungkin untuk memungkinkan optimalisasi kerja bareng dari program ini. Peran aktif pokja menjadi pembeda dari kegiatan sertipikasi HAT lainnya, yang tidak signifikan bahkan tidak ada di dalam kegiatan lain tersebut.

d. Target
Target program ini adalah jumlah anggota masyarakat tersejahterakan melalui sertipikasi hak atas tanah, bukan jumlah bidang nya. Sehingga tertutup kemungkinan buat peserta dapat memiliki jumlah bidang tanah yang disertipikatkan lebih dari satu bidang, karena sifatnya untuk memberdayakan masyakat yang kurang mampu.

e.   Outcome – Indikator kinerja
Indikator kinerja dari program ini adalah outcome yang berupa dampak peningkatan kesejahteraan dari peserta bukan sekedar output jum lah sertipikat hak atas tanah yang telah diterbitkan. Bagaimana aset yang sudah dilegalisasi tersebut dimanfaatkan untuk memberdayakan diri peserta, bukan justru untuk dipindahtangankan.


2. Apa saja fasilitas yang diberikan kepada peserta program ?

a.   Pengurangan BPHTB
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan no. 561/KMK.03/2004 jo.Peraturan Menteri Keuangan no. 91/PMK.03/2006 maka untuk masyarakat tidak mampu yang dibiayai oleh program pemerintah diberikan keringanan pembayaran BPHTB sampai dengan 75% dengan cara self assessment bukan restitusi dengan beberapa syarat dan ketentuan yang perlu dipenuhi.
  
b.   NPOTKP Khusus
Khusus untuk UMK, Menteri Keuangan melalui SE No. 33 Tahun 2008 memberikan fasilitas tambahan berupa Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) yang khusus yaitu minimal Rp. 10 juta rupiah dan bahkan melalui Undang-Undang no. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah NPOTKP menjadi minimal Rp. 60 juta rupiah.

c.   Pembiayaan
Bagi anggaran yang pembiayaannya ada dalam DIPA BPN, maka seluruh biaya sertipikasi ditanggung oleh pemerintah, sedangkan yang anggarannya diluar DIPA BPN, misalnya sektor lain, APBD, dlsbnya maka pembiayaannya mengikuti tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang tarif pelayanan pertanahan.


3. Apa saja yang harus disiapkan oleh calon peserta ?

a.   Dokumen
Menyiapkan dokumen-dokumen kepemilikan tanah yang sah yang akan diidentifikasi dan diverifikasi oleh Pokja setempat.

b.   Tanda Batas
Kesanggupan menunjukkan letak bidang tanahnya dan menunjukkan batas-batasnya serta memasang patok tanda batas bidang.

c.   Biaya
Kesanggupan untuk membayar biaya BPHTB (sisa dari pengurangan), uang pemasukan, dan biaya meterai serta biaya-biaya lain sesuai peraturan yang berlaku.
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia concern terhadap pemberdayaan masyarakat dan siap memfasilitasi program kementerian/lembaga lainnya yang terkait bidang pertanahan melalui prosedur perencanaan program Pemerintah.
Program ini akan lebih optimal terlaksana apabila semua pihak terkait memiliki kemauan politik dan ikut memberikan fasilitasi. Misalnya, Lembaga Keuangan dalam akses kredit, APBD dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam membantu pembiayaan, Perangkat desa/kelurahan dan kecamatan dalam penyiapan surat-surat keterangan tanah, dan berbagai bentuk-bentuk fasilitasi lainnya.
Melihat jumlah potensi peserta Program ini yang sangat besar dan juga dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat melalui penguatan hak atas tanahnya, skala Program ini relatif bersifat stimulan yang sangat menyambut keikutsertaan semua pemangku kepentingan untuk replikasi dan ekstensifikasinya. Berharap berbagai pertanyaan dapat terespons melalui dialog ini, dan meminimalisasi keraguan dalam melaksanakan Program Pemberdayaan Masyarakat melalui sertipikasi hak atas tanah.
»»  SELENGKAPNYA...