Halaman

Minggu, 25 September 2011

UUPA 1960 Sebagai Turunan Pasal 33 UUD 1945

17 Agustus 1960, Bung Karno telah mengumumkan sebuah rencana sangat penting: pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Katanya, seraya menegaskan, UUPA ini akan merombak hak atas tanah dan penggunaan tanah, agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara, dan khususnya taraf hidup kaum tani meninggi, dan taraf hidup seluruh rakyat jelata dapat meningkat.

Lalu, sebulan kemudian, tepatnya 24 September 1960, Bung Karno telah mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Salah satu prinsip dari UUPA ini adalah bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.

Juga, dalam UUPA 1960 ini, telah ditegaskan soal pelaksanaan ‘land reform’. Pada satu sisi, menurut Bung Karno, land-reform berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial di atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur. Pada pihak lain, land-reform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum tani.

Menurut Iwan Nurdin, aktivis dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), UUPA 1960 adalah pengejawantahan secara konkret dari pasal 33 UUD 1945. “UUPA 1960 punya semangat yang sama dengan pasal 33 UUD 1945, yaitu merombak susunan ekonomi koloanisme,” katanya saat diskusi bertajuk “Kembalikan Kedaulatan Bangsa Dengan Gerakan Pasal 33″, di Kantor KPP PRD, Jumat (15/7).

Selain itu, dalam UUPA 1960, agraria tidak diartikan dengan tanah, tetapi agraria diartikan sebagai tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jadi, semangatnya benar-benar pasal 33 UUD 1945 ayat (3).
Sayang sekali, UUPA tidak pernah dijalankan secara konsisten. Terutama di jaman orde baru, UUPA malah dianggap sebagai produk ‘komunis’. Lalu, secara sepihak, rejim orde baru membuat produk hukum sendiri, seperti UU kehutanan, UU pertambangan, dan lain-lain, yang tidak mau lagi merujuk pada UUPA 1960.
Di masa reformasi, UUPA 1960 masih terus diselewengkan. “Karena tata perundang-undangan di masa reformasi tidak mengenal Undang-Undang Pokok. Semua Undang-Undang dianggap sejajar,” kata Iwan Nurdin.



Dalam praktek impelementasinya, UUPA 1960 tidak dapat dipisahkan dari UU nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil (PBH) dan program land-reform. “Ini satu paket. Tidak bisa dipisahkan,” kata Iwan Nurdin.
Alasannya, karena UUPA 1960 punya mimpi untuk mentransformasikan rumah tangga tani di desa-desa, yang kekurangan teknologi, kekurangan modal, dan kekurangan tanah, menjadi struktur ekonomi pedesaan yang modern.

“Makanya, UU nomor 2 tahun 1960 tentang bagi hasil itu sangat mirip dengan bagi hasil dalam dunia industri. Juga tentang land-reformnya dan soal pengadilan sengketa, itu sama dengan pengadilan hubungan industrial,” tegasnya.
Hal di atas, menurut Iwan, menunjukkan bahwa cara pandang UUPA 1960 adalah menatap masa depan, yaitu modernisasi pertanian. UUPA 1960 tidak mau mempertahankan rumah tangga pedesaan yang subsisten, yang kekurangan tanah, modal, teknologi, dan tenaga kerja.

Sayang sekali, kata Iwan, landreform tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kalaupun berjalan, itu hanya di daerah pedesaan. Itupun hanya mengidentifikasi pada soal kelebihan batas maksimum kepemilikan tanah, tanah absente, dan tanah negara, bukan kepada objek-objek landreform yang semestinya: perkebunan-perkebunan bekas milik kolonial.

“Tanpa landreform, negara sesungguhnya akan mengalami kepincangan dalam menjalankan industrialisasi yang kuat,” ujar Iwan.
Ada banyak aktivis yang mempersoalkan masih dianutnya hak guna usaha (erfpacht) dalam UUPA 1960. Menurut sebagian aktivis itu, keberadaan hak guna usaha telah menjadi legitimasi terhadap perampasan tanah milik rakyat.

Akan tetapi, Iwan punya pandangan lain soal hak guna usaha dalam UUPA 1960. Menurutnya, hak guna usaha dalam UUPA 1960 hanya dimiliki oleh serikat-serikat petani melalui badan usaha yang disebut koperasi. “Kalau ada istilah badan usaha milik petani, maka seharusnya itu adalah petani yang mendapat hak guna usaha. Bukan perusahaan-perusahaan perseorangan penerima HGU,” tegasnya.

Sekarang ini, struktur pertanian di Indonesia sangat mirip dengan jaman kolonial, dimana perusahaan asing mengusai tanah, bibit, hingga produk ekspor. Dalam produk CPO, misalnya, perusahaan asing mengusai tanah, produk derivative, hingga produk ekspornya. Akibatnya, sekalipun kita dikenal sebagai eksportir terbesar CPO di dunia, tetapi pemerintah sendiri tidak sanggup mengontrol atau menyediakan harga minyak goreng murah untuk rakyat.

Dari 9,1 juta hektar kebun sawit di Indonesia, itu hanya dimiliki oleh 264 perusahaan saja atau sekitar puluhan group saja. Begitu juga dengan pengusaan hutan produksi: dari 41 juta hektar hutan produksi di negara kita, itu hanya dikusaia oleh 366 perusahaan. Tetapi ada 22 juta rumah tangga petani di Indonesia hanya memiliki 0,3 hektar per rata-rata.

Di masa reformasi, dimana liberalisasi benar-benar gencar dilakukan, tinggal soal tanah (agraria) yang belum sepenuhnya berhasil diliberalisasikan. Maka, tidak mengherankan jika Bank Dunia sangat bernafsu untuk menghapus UUPA 1960.
Dengan demikian, UUPA 1960 sekarang merupakan benteng terakhir dalam mempertahankan kedaulatan kita. Oleh karena itu, maka perjuangan pasal 33 UUD 1945 haruslah memperkuat dan mendorong pelaksanaan UUPA 1960.


»»  SELENGKAPNYA...

Selasa, 20 September 2011

POMASDARTIBNAH SARANA MEMBANGUN KEPERCAYAAN KEPADA BPN MELALUI PARTISIPASI MASYARAKAT


Pengelolaan pertanahan oleh BPN-RI (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) tidaklah akan mencapai sukses, bila tidak didukung oleh masyarakat. Kinerja terbaik BPN-RI hanya akan menjadi idealisme semata, bila tidak ada partisipasi aktif dari masyarakat. Partisipasi (participation), adalah menjadi peserta dari suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu situasi sosial tertentu. Dalam konteks pertanahan, hal ini berarti kesediaan masyarakat untuk menjadi peserta dari suatu proses komunikasi atau kegiatan pertanahan
.
Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi berkaitan dengan partisipasi masyarakat di bidang pertanahan, yaitu:
Pertama, partisipasi kehadiran (audience participation). Partisipasi ini terjadi ketika masyarakat bersedia menghadiri sosialisasi kegiatan pertanahan, misal: sosialisasi PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional);
Kedua, partisipasi budaya (cultural participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masyarakat untuk mengikuti kegiatan pertanahan tertentu;
Ketiga
, partisipasi bertujuan (objective participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masyarakat untuk mengikuti kegiatan pertanahan secara lebih jauh lagi, karena telah mengetahui tujuan kegiatan tersebut;
Keempat, partisipasi kebijakan (policy participation). Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masyarakat untuk terlibat dan memberi kontribusi dalam perumusan kebijakan pertanahan. Contoh: masyarakat memberi kontribusi pemikiran (masukan) tentang tradisi lokal yang dapat mendukung PPAN;
Kelima, partisipasi psikologis (psychological participation) Partisipasi ini terjadi ketika timbul kesediaan masdyarakat untuk melakukan proses formasi sikap untuk mendukung kegiatan pertanahan.

Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan. Gerakan ini bertujuan untuk memberi ruang partisipasi kepada masyarakat dalam pengelolaan pertanahan, seperti dalam hal:
Pertama, pemasangan tanda batas, yang dilakukan bersama-sama secara terkoordinir oleh pemilik tanah dan tetangga batasnya; \
Kedua, mendorong pembentukan Pokmasdartibnah (Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan) oleh masyarakat, yang akan berpartisipasi dalam pengelolaan pertanahan.

Kerjasama yang terjalin antara Pokmasdartibnah dengan Kantah (Kantor Pertanahan) akan membuktikan kebenaran dan perwujudan Agenda Pertama dari Sebelas Agenda BPN-RI, yaitu "Membangun kepercayaan masyarakat. Keakraban ditandai oleh adanya peran Pokmasdartibnah dalam pengelolaan pertanahan, yang berbasis pada status Pokmasdartibnah yang swadaya, swakelola, dan swadana.

Peran Pokmasdartibnah juga diawali oleh adanya stimulus dari BPN-RI dan Kantah, yang memberi ruang partisipasi kepada masyarakat. Stimulus inilah yang direspon oleh Pokmasdartibnah, dengan memberi kinerja yang dapat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan pertanahan oleh BPN-RI.

Peran (role) memberi makna adanya aspek dinamis dari status Pokmasdartibnah, yang memberinya perangkat hak dan kewajiban. Peran juga merupakan perilaku aktual dari Pokmasdartibnah, dan merupakan bagian dari aktivitas yang sedang dimainkan Pokmasdartibnah.
»»  SELENGKAPNYA...

Pemberdayaan Masyarakat & Sertipikasi HAT Lintas Sektor

Istilah Pemberdayaan Masyarakat Lintas Sektor ini mengemuka karena kegiatan legalisasi asset ini awalnya inisiatif dan dananya dari sektor terkait, seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah , Departemen Pertanian, serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun karena portofolio sertipikasi hak atas tanah adalah domainnya Badan Pertanahan Nasional R.I, maka kegiatan sertipikasi hak atas tanah tersebut harus diletakkan di DIPA BPN R.I.

Juga dimaknai dengan istilah lintas sektor karena kegiatan ini tidak diselenggarakan oleh satu instansi saja dalam hal ini BPN R.I. tetapi merupakan kegiatan bersama dengan sektor/kementerian/lembaga lain.

Dalam perjalanan pelaksanaan kegiatan ini, beberapa hal yang yang sering mengemuka dan berulang-ulang muncul antara lain adalah pertanyaan sbb :

1.   Apa bedanya program ini dengan program Prona, Adjudikasi, dlsbnya yang sudah ada selama ini ?

a.   Subyek
Subyek kegiatan ini kualifikasi, inventarisasi dan identifikasinya ditentukan oleh sektor terkait, misalnya kualifikasi nelayan skala kecil oleh Departemen/Dinas Kelautan dan Perikanan, usaha mikro kecil oleh Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, petani oleh Departemen/Dinas Pertanian. Dari hasil seleksi tersebut yang dikoordinasikan oleh Pokja terkait, Kantor Pertanahan melakukan verifikasi dan menetapkan pesertanya. Oleh sebab itu tidak mudah memindah-mindahkan target kegiatannya karena ketersediaan subyek dan obyeknya banyak ditentukan oleh sektor terkait. Kalaupun terjadi pergeseran target harus melalui koordinasi antara Kantor Pertanahan/Kanwil BPN dengan dinas terkait setempat.
Hal ini berbeda dengan yang dilakukan dalam kegiatan Prona maupun adjudikasi, yang subyeknya ditentukan kualifikasi dan seleksinya oleh pihak BPN R.I.


b.   Tahapan pra, sertipikasi, dan pasca
Dalam kegiatan lintas sektor ini dikenal tiga tahapan kegiatan, yaitu pra, sertipikasi dan pasca. Pra dan Pasca dilaksanakan oleh sektor terkait bersama dengan pihak Kantor Pertanahan, sedangkan tahapan sertipikasinya oleh Badan Pertanahan Nasional. Kegiatan Pra menjadi penting apalagi bila dilaksanakan pada tahun sebelumnya (T-1) sehingga terinventarisasi dan terseleksi calon-calon peserta yang memenuhi syarat untuk disertipikatkan pada tahun berikutnya. Sedangkan tahapan pasca sertipikasi merupakan fasilitasi akses dari peserta ke sumber-sumber produksi dan permodalan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat penerima. Inilah justru menjadi ikon pembeda dari program lainnya yang menegaskan keberpihakan pada penanggulangan kemiskinan. Sertipikat menjadi instrumen pemberdaya masyarakat.

c.   Tim Koordinasi
Karena sifatnya lintas sektor maka peran kelompok kerja dalam mengkoordinasikan kegiatan sangat vital, yang diharapkan dapat dibentuk sedini mungkin untuk memungkinkan optimalisasi kerja bareng dari program ini. Peran aktif pokja menjadi pembeda dari kegiatan sertipikasi HAT lainnya, yang tidak signifikan bahkan tidak ada di dalam kegiatan lain tersebut.

d. Target
Target program ini adalah jumlah anggota masyarakat tersejahterakan melalui sertipikasi hak atas tanah, bukan jumlah bidang nya. Sehingga tertutup kemungkinan buat peserta dapat memiliki jumlah bidang tanah yang disertipikatkan lebih dari satu bidang, karena sifatnya untuk memberdayakan masyakat yang kurang mampu.

e.   Outcome – Indikator kinerja
Indikator kinerja dari program ini adalah outcome yang berupa dampak peningkatan kesejahteraan dari peserta bukan sekedar output jum lah sertipikat hak atas tanah yang telah diterbitkan. Bagaimana aset yang sudah dilegalisasi tersebut dimanfaatkan untuk memberdayakan diri peserta, bukan justru untuk dipindahtangankan.


2. Apa saja fasilitas yang diberikan kepada peserta program ?

a.   Pengurangan BPHTB
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan no. 561/KMK.03/2004 jo.Peraturan Menteri Keuangan no. 91/PMK.03/2006 maka untuk masyarakat tidak mampu yang dibiayai oleh program pemerintah diberikan keringanan pembayaran BPHTB sampai dengan 75% dengan cara self assessment bukan restitusi dengan beberapa syarat dan ketentuan yang perlu dipenuhi.
  
b.   NPOTKP Khusus
Khusus untuk UMK, Menteri Keuangan melalui SE No. 33 Tahun 2008 memberikan fasilitas tambahan berupa Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) yang khusus yaitu minimal Rp. 10 juta rupiah dan bahkan melalui Undang-Undang no. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah NPOTKP menjadi minimal Rp. 60 juta rupiah.

c.   Pembiayaan
Bagi anggaran yang pembiayaannya ada dalam DIPA BPN, maka seluruh biaya sertipikasi ditanggung oleh pemerintah, sedangkan yang anggarannya diluar DIPA BPN, misalnya sektor lain, APBD, dlsbnya maka pembiayaannya mengikuti tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang tarif pelayanan pertanahan.


3. Apa saja yang harus disiapkan oleh calon peserta ?

a.   Dokumen
Menyiapkan dokumen-dokumen kepemilikan tanah yang sah yang akan diidentifikasi dan diverifikasi oleh Pokja setempat.

b.   Tanda Batas
Kesanggupan menunjukkan letak bidang tanahnya dan menunjukkan batas-batasnya serta memasang patok tanda batas bidang.

c.   Biaya
Kesanggupan untuk membayar biaya BPHTB (sisa dari pengurangan), uang pemasukan, dan biaya meterai serta biaya-biaya lain sesuai peraturan yang berlaku.
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia concern terhadap pemberdayaan masyarakat dan siap memfasilitasi program kementerian/lembaga lainnya yang terkait bidang pertanahan melalui prosedur perencanaan program Pemerintah.
Program ini akan lebih optimal terlaksana apabila semua pihak terkait memiliki kemauan politik dan ikut memberikan fasilitasi. Misalnya, Lembaga Keuangan dalam akses kredit, APBD dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam membantu pembiayaan, Perangkat desa/kelurahan dan kecamatan dalam penyiapan surat-surat keterangan tanah, dan berbagai bentuk-bentuk fasilitasi lainnya.
Melihat jumlah potensi peserta Program ini yang sangat besar dan juga dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat melalui penguatan hak atas tanahnya, skala Program ini relatif bersifat stimulan yang sangat menyambut keikutsertaan semua pemangku kepentingan untuk replikasi dan ekstensifikasinya. Berharap berbagai pertanyaan dapat terespons melalui dialog ini, dan meminimalisasi keraguan dalam melaksanakan Program Pemberdayaan Masyarakat melalui sertipikasi hak atas tanah.
»»  SELENGKAPNYA...

Konsep Pemberdayaan, Membantu Masyarakat Agar Bisa Menolong Diri Sendiri

Pemberdayaan dilahirkan dari bahasa Inggris, yakni empowerment, yang mempunyai makna dasar ‘pemberdayaan’, di mana ‘daya’ bermakna kekuatan (power). Bryant & White (1987) menyatakan pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat miskin. Cara dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yakni dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh. Sementara Freire (Sutrisno, 1999) menyatakan empowerment bukan sekedar memberikan kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan saja, tetapi juga upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif.

Konsep lain menyatakan bahwa pemberdayakan mempunyai dua makna, yakni mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela dan berpihak kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah (Prijono dan Pranarka, 1996).

Dalam pandangan Pearse dan Stiefel dinyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yakni primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya (Prijono dan Pranarka, 1996).

Sedangkan dalam kajian ini pengertian “pemberdayaan” dimaknai sebagai segala usaha untuk membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena kemiskinan yang terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai macam faktor yang menyangkut kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan juga harus melibatkan kedua faktor tersebut.

Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya. Konsep pemberdayaan merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep top-down dan bottom-up, antara growth strategy dan people centered strategy. Sedangkan di tingkat praksis, proses interaksi terjadi melalui pertarungan antar ruang otonomi. Maka, konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development). Community development adalah suatu proses yang menyangkut usaha masyarakat dengan pihak lain (di luar sistem sosialnya) untuk menjadikan sistem masyarakat sebagai suatu pola dan tatanan kehidupan yang lebih baik, mengembangkan dan meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya. Secara filosofis, community development mengandung makna ‘membantu masyarakat agar bisa menolong diri sendiri’, yang berarti bahwa substansi utama dalam aktivitas pembangunan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri.
»»  SELENGKAPNYA...

Senin, 19 September 2011

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI BIDANG PERTANAHAN

1.   Landasan Hukum Pemberdayaan Masyarakat Bidang Pertanahan
a.   Landasan idiil: Pancasila.
b.   Landasan Konstitusional: Undang-undang Dasar Negara 1945 dan Perubahannya.
c.   Landasan politis:
1.   Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001, tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam;
2.   Pidato politik awal tahun Presiden RI tanggal 31 Januari 2007.
d.   Landasan hukum terdiri dari + 18 Undang-undang sektoral
e.   Landasan Operasional
1.   Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
2.   Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
3.   Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 dan 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPN RI serta Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan.
4.   Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4, 5, 6 dan 8 Tahun 2008 tentang kelembagaan Reforma Agraria
5.   Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2009 tentang LARASITA

2.   Kondisi saat ini
      Belum optimalnya kegiatan pemberdayaan yang dijalankan selain dari kondisi internal yang ada di BPN RI juga disebabkan beberapa kondisi eksternal yang berkembang yaitu :
1.   Peran kelembagaan masyarakat bidang pertanahan masih sangat terbatas
2.   Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pertanahan belum maksimal
3.   Tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
4.   Masih rendahnya akses masyarakat ke sumber-sumber permodalan, sarana produksi, pasar, dll.
5.   Tingginya sengketa dan konflik pertanahan.

3.   Strategi
Agar kegiatan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan dapat berjalan dengan optimal beberapa strategi yang dapat digunakan yaitu :
1.   Penguatan berbagai peraturan pendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang pertanahan.
2.   Peningkatan kapasitas aparat pelaksana kegiatan pemberdayaan masyarakat
3.   Penentuan jenis kegiatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan kondisi kelompok sasaran.         
4.   Peran serta aktif organisasi kemasyarakatan dan lembaga masyarakat setempat
5.   Pendampingan yang dapat berperan sebagai fasilitator, komunikator maupun dinamisator.
6.   Partisipasi aktif dunia usaha dan perbankan dalam mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang pertanahan.
»»  SELENGKAPNYA...